Minggu, 31 Maret 2013

1887 G.A Scherer Residen Sumatra van Oostkust

G.A Scherer 
Resident Sumatra Van Oostkust
1886-1889 

Semakin berkembangnya kota Medan pada waktu itu, maka Gubernur Hindia Belanda segera memindahkan keresidenan Sumatera Timur (Ooskust) dari Bengkalis ke Medan. Pada tanggal 21 Februari 1887, dikeluarkanlah surat ordonansi staatblad no.45 tentang perpindahan ibukota Residen Sumatera Timur dari bengkalis ke Medan.

Keresidenan Sumatra Timur adalah wilayah administrasi Hindia Belanda di kawasan pesisir timur Sumatra bagian utara yang berdiri pada 1 Maret 1887, dikendalikan oleh seorang Residen di Medan, dan terdiri atas beberapa Afdeling, yang sekarang menjadi daerah kabupaten yaitu: (diurut menurut abjad)
Afdeling Asahan
Berasal dari Kesultanan Asahan dan kini menjadi Kabupaten Asahan, Kabupaten Batubara, Kabupaten Labuhanbatu, Kabupaten Labuhanbatu Utara dan Kabupaten Labuhanbatu Selatan
Afdeling Deli en Serdang
Berasal dari Kesultanan Deli dan Kesultanan Serdang dan kini menjadi Kabupaten Deli Serdang dan Kabupaten Serdang Bedagai
Afdeling Langkat
Berasal dari Kesultanan Langkat dan kini menjadi Kabupaten Langkat
Afdeling Simelungun en Karolanden
Kini menjadi Kabupaten Karo, Kabupaten Simalungun dan Kota Pematang Siantar.



Diangkatlah G.A. Scherer sebagai Residen Sumatera Timur pertama. Peradilan rol polisi ditukar menjadi Magistraat gerecht dan beberapa hak diberikan kepada resident gerecht.

Pembangunan kota Medan pun dipercepat. Didatangkanlah stoombagermolen untuk menimbun rawa-rawa disekitar pusat medan. 

1886 Gementee Fonds Medan

Esplanade 

Menurut Tuanku Luckman Sinar,SH dalam satu bukunya “Medan Tempo Doeloe” mengemukakan sebagai berikut : Sebelum gementee Medan tahun 1886 terbentuk, diaturlah melalui satu lembaga yang diberi nama : “Commissie tot Beheer van het Gemeente Fond (Komisi untuk mengurus dana Gemeente) yang lebih dikenal dengan nama “Negoijraad’" tetapi masih dicampuri oleh Residen Sumatera Timur/Asisten Residen Deli dan Kontrolir Deli. Waktu itu Medan belum mempunyai Walikota.

Komisi ini mempunyai penghasilan dari :
  1. Sebahagian hasil tanah dalam lingkungan kota Medan yang diperoleh dari kerjaaan Deli.
  2. Tunjangan-tunjangan dari kerajaan Deli untuk keperluan jalan-jalan, titi, air dan lain-lain.
  3. Kontribusi secara sukarela dari penduduk untuk penerangan jalan.
  4. Penghasilan dari sewa dan pacht bangunan dan pasar.
  5. penghasilan-penghasilan lainnya.
Penghasilan pertama yang terkumpul oleh komisi tersebut sebesar Fl.32.000,- . Dana ini dipergunakan untuk keperluan air minum, kebersihan got-got, pompa kebakaran dan lain-lain.

1886 Tjong A Fie memindahkan imperium Bisnis ke Medan

Rumah Kapiten Cina Tjong Yong Hian 1878

Dengan Berbekal 10 perak uang Manchu yang diikatkan ke ikat pinggangnya, Tjong Fung Nam atau yang lebih dikenal dengan nama Tjong A Fie meninggalkan Tiongkok menyusul kakaknya Tjong Yong Hian yang sudah 5 tahun menetap di Deli-Hindia Belanda. Keinginannya yang keras untuk pergi dari negeri Tiongkok dan berpetualang di Nanyang ternyata membuahkan hasil yang sangat membanggakannya.

Dinegeri the het dollar land Tjong A Fie berkeyakinan “walaupun kita berada dinegeri impian yang bergelimang emas, seseorang takkan bisa berhasil tanpa adanya usaha sendiri dimana kekayaan tidak akan tumbuh seperti buah yang siap dipetik begitu saja, kitalah yang harus menanam pohon itu, memeliharanya, melindunginya sehingga pohon itu bisa berbuah seperti yang kita inginkan”. 

Beliau memulai karier sebagai pekerja serabutan ditoko kelontong miliknya Tjong Sui Fo di Labuhan Deli. Karena kemampuannya menjadi penengah jika terjadi perselisihan diantara orang Tionghoa atau dengan pihak lainnya, penguasa Belanda mengangkatnya menjadi Wijkmeester (Kepala kampung) bagi orang–orang Tionghoa di Labuhan Deli. Setelah pengangkatannya itu Tjong A Fie berhenti dari toko Tjong Sui Fo tanpa pernah melupakan kebaikan dari bekas majikannya. Tak lama kemudian pada tahun 1885 Tjong A Fie diangkat menjadi Letnan (Lieutenant) Tionghoa dan pada tahun 1886 tidak lama setelah pengangkatannya Tjong A Fie memindahkan aktivitasnya dari Labuhan Deli ke Medan.

Semenjak memindahkan aktivitasnya dari Labuhan Deli ke Medan di tahun 1886, Fie membuka usaha sendiri dengan menjadi levarinsir yang melego barang–barang keperluan perkebunan seiring dengan itu terbentuklah kerajaan bisnisnya. Tjong A Fie juga memiliki hubungan yang baik dengan sultan Deli Makmoen Al Rasyid Perkasa Alamsyah dan Tuanku Raja Moeda serta pemerintahan Hindia Belanda.

Tjong A Fie memindahkan imperium Bisnisnya ke Kesawan. Di tahun 1886 mereka membangun pasar daging dan setahun kemudian tahun 1887 membangun pasar ikan. Dan tahun 1906 mereka membangun pasar menjual sayur sayuran.






1886 Kantor Deli Spoor & Telefoon Medan

Kantor DSM & Telefoon berada di Jalan Prof.M.Yamin Medan menjadi Kantor Telkom
Bukan hanya perkeretaapian saja yang dikerjakan oleh Deli Spoorweg Mij, pengembangan bisnis ini pun akhirnya berkembang pada bisnis jaringan telepon , perumahan dan sewa gudang. Sarana komunikasi, seperti telepon sangat memungkinkan dilakukan dengan mempergunakan fasilitas yang tersedia. Alasannya karena pembangunan jaringan komunikasi mempergunakan jalur rel yang dimanfaatkan. Selain penghematan juga bebas biaya pemancangan tiang-tiang telepon.

Laporan Tahunan 1912 (DSM) menunjukkan pemasangan jaringan telepon terjadi peningkatan. Peluang diversifikasi usaha melalui investasi jaringan telepon memperlihatkan usaha sampingan ternyata mendukung pengembangan modal usaha. Secara keseluruhan biaya pembangunan jaringan telepon berdasarkan Artikel 10 der Telefoon Concessie voorwaarden 1912, bahwa sejak 1885-1939 biaya yang dikeluarkan 2.347.615,91 guldens.

Jaringan   telepon  memang   dibutuhkan   pihak   perkebunan   untuk mendapatkan  informasi  antar  perkebunan yang satu dengan  lainnya.  Jaringan telepon   memberi   peluang   untuk   mendapatkan   keuntungan   diluar   sektor transportasi.    Jaringan  telepon mampu melayani  berbagai  kebutuhan kalangan 
industri   perkebunan   maupun   masyarakat   sekitarnya.   Dibangunnya   jaringan telepon akan membentuk kelompok masyarakat kota yang melakukan kegiatan perdagangan, dimana pengaruhnya ditunjukkan dengan terbentuknya kota-kota perdagangan.

Sistem   komunikasi   menjadi   lancar   antar   afdeeling   maupun landschap yang ada di pulau Sumatera. Hal ini didukung semakin panjangnya rel kereta api  yang bersambung satu sama  lain pada wilayah yang berbeda,  baik Aceh,  Sumatera  Timur,  Sumatera  Barat   dan  Sumatera  Selatan.  Prospek   ini bukan   hanya  menguntungkan  DSM  (perusahaan)   tetapi  membantu   program pemerintah   dalam   mengusahakan   kelancaran   administrasi   dan   kebutuhan militer.  Pembangunan   jaringan     telepon   diberikan   kepada  DSM  berdasarkan konsesi   yang   dikeluarkan   oleh   Surat   Keputusan   Gubernur   Jenderal   Hindia Belanda tgl 3 Maret 1886 No.22, dan SK tgl 3 September 1886 No.4/C, serta SK tgl  3 Desember 1912 No.41. 

1886 Jalur DSM Medan Labuhan

Stasiun Kereta Api Deli Spoorweg di Medan 
Setelah mendapat perizinan dan jalur konsesi, maka Deli Maatschappij melalui perusahaan Deli Spoorweg Maatschappij mulai melakukan pekerjaannya. Rel, kantor, perumahan serta stasiun mulai dibangun. Stasiun pusat dibangun di sebelah kanan dari Hotel de Vink. Di depan lapangan yang luas yaitu lapangan Esplanade nantinya.
Perencanaan Stasiun Medan menjadi cikal bakal pusat kota Medan berada dikawasan ini. Photo diatas adalah stasiun kereta api Medan yang baru siap. Banyak kuli-kuli diperkerjakan untuk membangun landasan rel-rel kereta api ini. Jalur pertama yang direncanakan adalah jalur Medan - Labuhan. Karena pada saat itu, Labuhan masih menjadi pusat pemerintahan Sultan Deli.
Jalur ini dibuat dalam perencanaan awal adalah untuk mempermudah dan mempercepat perpindahan kota. Dengan dikeluarkannya surat  no.17 tanggal 23 Januari 1886 pembangunan jalur Medan - Labuhan sejauh 16,743 Km segera terealisasi.


Stasiun Labuhan 
 
3 buah lokomotif yang akan dipergunakan untuk kebutuhan transportasi di Deli adalah Lokomotif B 2t 1067 "Sumatra" yang dibuat oleh perusahaan Belanda Hohenzollern untuk Deli Spoorweg Mij.





Rabu, 27 Maret 2013

1885 De Deli Courant


Jacques Deen dan Deli Courantnya
Berbagai peperangan terjadi di Sumatera. Hal ini memicu banyaknya investor asing yang ingin membangun usaha termasuk percetakan dan komunikasi di Medan. Sehingga tidak tanggung-tanggung Deli pada saat itu dijuluki DELI HET DOLLAR LAND atau CALIFORNIE VAN NED INDIE.  Untuk merumuskan inilah maka dibangunlah DE DELI COURANT. De Deli Courant adalah surat kabar bahasa Belanda pertama di Kota Medan yang didirikan oleh warga negara Belanda, bernama Jacques Deen, pada tanggal 18 Maret 1885.

Gedung Redaksi dan Bookhandel De Deli Courant 1908

Jacques Deen yang berasal dari Amsterdam (Holland) tergolong masih berusia muda. Pada mulanya ia hanya bermaksud menyusul abangnya ke Surabaya yang bekerja sebagai saudagar hasil bumi. Setelah mendengar Deli juga telah ramai didatangi orang asing, ia pun mencoba mencari keberuntungan dan memutuskan untuk mendirikan perusahaan percetakan yang mencetak surat kabar.

Dengan persiapan yang amat sederhana, sebuah percetakan kecil bekas yang dijalankan dengan uap (stoomdrukkerij) dan beberapa orang karyawan yang berhasil dilatihnya sekedar menyusun huruf (zettery) dapatlah dicetaknya sebuah surat kabar dengan oplah 150 lembar yang terbit 2 kali seminggu (setiap Rabu dan Sabtu).

Mesin cetak besar 1921
Menyusun huruf (Zettery) 1900 -1935
Kios Penjualan De Deli Courant di Jl. Kom.L.Yos Sudarso 
Menurut Peta kota Medan tahun 1915, kantor redaksi Deli Courant itu berada di Palehuis Weg atau tepatnya sekarang berada di Jalan Putri Merak Jingga sekarang. Kalau sekarang sisabangunanya masih dapat dilihat didepan Gedung Paramount Medan. Sedangkan bookhandelnya berada di Kesawan Weg atau sekarang berada di Jalan K.L.Yos Sudarso.

Interior Kantor De Deli Courant
De Deli Courant adalah suratkabar yang merupakan cikal bakal berdirinya surat kabar lain di Medan. pada tanggal 30 November 1895 lahir pula De Ootkust artinya Pantai Timur, terbit 2 kali seminggu yakni setiap hari Selasa dan Jumat dengan pimpinan redaksi Mr H.E.H. . Pada tahun 1899 berdiri lagi sebuah percetakan dan penerbitan koran Belanda bernama De Sumatra Post di bawah pimpinan J. Hallermann seorang pendatang dari Eropa.

Kini salah satu foto Jaques Deen dan cetakan surat kabar tersebut, masih tersimpan di Yayasan Museum Pers Sumatera Utara (Sumut), di Jalan Sei Alas nomor 6 Medan, yang didirikan oleh Muhammad To’Wan Haria.


Selasa, 26 Maret 2013

1884 Telaga Tiga Said

Telaga Tiga Said


Eksplorasi pertama pun segera dilakukan Zijlker. Tetapi bukan di tempat sumur minyak pertama itu, melainkan di daerah yang belakangan disebut sebagai sumur Telaga Tiga. Memang dari proses pengeboran di Telaga Tiga diperoleh minyak mentah (crude oil), tetapi hasilnya tidak begitu menggembirakan. Hingga tanggal 17 November 1884, setelah pengeboran berlangsung sekitar dua bulan, minyak yang diperoleh hanya sekitar 200 liter. Semburan gas yang cukup tinggi dari sumur Telaga Tiga, membuyarkan harapan untuk mendapatkan minyak yang banyak. 
Namun Zijlker dan kawan-kawan tidak berhenti sampai di situ. Mereka kemudian mengalihkan kegiatannya ke daerah konsesinya yang berada di sebelah timur. Untungnya memang konsesi yang diberikan Sultan Musa cukup luas, mencakup wilayah pesisir Sei Lepan, Bukit Sentang sampai ke Bukit Tinggi, Pangkalan Brandan, sehingga bisa mencari lebih banyak titik pengeboran. 

Pilihan kedua jatuh ke Desa Telaga Said. Di lokasi kedua ini, pengeboran mengalami sedikit kesulitan karena struktur tanah lebih keras jika dibandingkan dengan struktur tanah di Telaga Tiga. Usaha memupus rintangan struktur tanah yang keras itu, akhirnya membuahkan hasil. Saat pengeboran mencapai kedalaman 22 meter, berhasil diperoleh minyak sebanyak 1.710 liter dalam waktu 48 jam kerja. Saat mata bor menyentuh kedalaman 31 meter, minyak yang dihasilkan sudah mencapai 86.402 liter. Jumlah itu terus bertambah hingga pada 15 Juni 1885, ketika pengeboran mencapai kedalaman 121 meter, tiba-tiba muncul semburan kuat gas dari dalam berikut minyak mentah dan material lainnya dari perut bumi. Sumur itu kemudian dinamakan Telaga Tunggal I. 

Penemuan sumur minyak pertama di Nusantara ini berjarak sekitar 26 tahun dari penemuan sumur minyak komersial pertama di dunia pada 27 Agustus 1859 di Titusville, negara bagian Pennsylvania, yang diprakarsai Edwin L. Drake dan William Smith dari Seneca Oil Company.

1884 Deli Spoorweg Maatschappij

Bukti Saham Deli Spoorweg Maatschappij 1884

Keputusan yang diambil perusahaan membangun jaringan kereta api sangat tepat terutama untuk memenuhi kebutuhan ekonomi ekspor. Akibat yang diperoleh adalah keuntungan yang besar karena perusahaan ini memiliki hak monopoli angkutan perkebunan. Atas prakarsa pengusaha Belanda, seperti P.W Janssen (Direktur Deli Maatchappij), B.Heldring (Direktur Nederlandsche Handel Maatschappij), I.J van Santen (Direktur Nederlandsche Indische Handelsbank), maka modal investasi dapat dikumpulkan sebesar 2.440.000 guldens.

T.J Cremer 
Direktur DSM

Hal ini didorong keinginan beberapa ahli perkereta-apian, seperti W.H.J Dates, T.H Hillen, dan dukungan simpati oleh R.C Kroessen (Asistent Resident van Deli).

Akhirnya mereka sepakat mendaftarkan berdirinya Deli Spoorweg Maatschappij ke Notaris J.E Clausing. Tercatat pada Nederlandsche Staatscourant No. 172 tanggal 25 Juli 1883.

Maka pada tanggal 12 April 1884 dikeluarkanlah Bewijs Van Aandeel (Bukti Saham) dengan jenis berbagi. Bukti Saham ini bernomor 0453 untuk perusahaan kereta api " Deli Spoorweg Maatschappij" dengan denominasi F.1.000.000,-. 

Maka diangkatlah J.T. Cremer (Deli Maatschappij) menjadi direktur Deli Spoorweg Maatschappij.

Rumah Administrator
Deli Spoorw. Maatschappij Medan 1883-1888




1884 Kuil Shri Mariamman Medan

Kuil shri Mariamman Medan


Semakin banyak kuli Tamil di Perkebunan Medan, maka pada tahun 1884 dibangunlah kuil khusus untuk orang Tamil di Kampung Madras dengan nama KUIL SHRI MARIAMMAN. Disini juga dibangun candi yang didirikan oleh Guardhuara Sahib. Pendeta yang pertama ialah Bhai Surain Singh Ji.

Kuil Shri Mariamman adalah kuil Hindu tertua di Kota Medan, Indonesia. Kuil ini dibangun pada tahun 1884 (ada pula yang menyebut 1881) untuk memuja dewi Kali. Kuil ini terletak di kawasan yang dikenal sebagai Kampung Keling. Kuil yang menstanakan lima dewa, masing-masing Dewa Siwa, Wisnu, Ganesha, Dewi Durga (Kali), dan Dewi Aman itu dikelola salah seorang keluarga pemilik perusahaan besar Texmaco, Lila Marimutu. Pintu gerbangnya dihiasi sebuah gopuram, yaitu menara bertingkat yang biasanya dapat ditemukan di pintu gerbang kuil-kuil Hindu dari India Selatan atau semacam gapura.

Sebuah Kuil Shri Mariamman yang lain juga terletak di Medan, di sebelah selatan kota, dekat Sungai Sepit. Kuil ini dibangun pada tahun 1876. Setiap tahun di kuil ini dilaksanakan ritual Theemithi, yaitu ritual berjalan di atas api, dalam rangka perayaan Thaipusam.

Senin, 25 Maret 2013

1883 Deli Maatschappij menerima Konsesi jalur Kereta Api

Jalur Kereta Api I Belawan - Medan - Deli Toewa - Timbang Langkat

Pembangunan jaringan Kereta Api di tanah Deli merupakan inisiatif J. T. Cremer yakni manajer perusahaan Deli (Deli Matschappij) yang menganjurkan agar jaringan Kereta Api di Deli sesegera mungkin dapat dibangun dan direalisasikan mengingat pesatnya perkembangan perusahaan perkebunan Deli. 

Beliau juga telah menganjurkan pembukaan jalan yang menghubungkan antara Medan-Berastagi dengan fasilitas hotel seperti hotel grand Berastagi dan Bukit Kubu sekarang sebagai tempat peristirahatan pengusaha perkebunan. 

Pembangunan jaringan Kereta Api ini dimungkinkan oleh pemberlakuan UU Agraria Tahun 1870 dimana penguasa kolonial Belanda dimungkinkan untuk menyewa tanah dalam waktu relatif lama yang tidak saja diprioritaskan bagi sektor perkebunan. Disamping itu, berkembangnya Belawan sebagai bandar kapal ekspor hasil perkebunan ke Eropa telah pula mendorong laju percepatan pembangunan jaringan Kereta Api yang menghubungkan daerah-daerah perkebunan di Sumatra Timur. Kecuali itu, jalur transportasi sungai dinilai cukup lambat dalam proses angkutan hasil produksi perkebunan menuju Belawan. 

Berdasarkan surat Keputusan Gubernur Jenderal Belanda maka pada tanggal 23 Januari 1883, permohonan konsesi dari pemerintah Belanda untuk pembangunan jaringan kereta api yang menghubungkan Belawan-Medan-Delitua-Timbang Langkat (Binjai) direalisasikan. Pada bulan Juni 1883, izin konsesi tersebut dipindahtangankan pengerjaannya dari Deli Matschappij kepada Deli Spoorweg Matschappij (DSM).

1882 Senembah Hospital didirikan


Perkebunan Tembakau Tandjong Morawa 1878

Pada tahun 1882, Perkebunan Tembakau Senembah Maatschappij di Tandjong Morawa mendirikan sebuah Rumah Sakit. Karena keadaan para kuli yang sangat memperihatinkan dan makanan yang mereka asup tidak bergizi sementara mereka dituntut bekerja keras dengan waktu yang tidak bersahabat sehingga banyak kuli yang terserang berbagai macam penyakit bahkan hingga meninggal dunia.

Menara Air dan kantin Rumah Sakit Senembah Maatschappij

Rumah Sakit Senembah Maatschappij




1881 Departemen Store Seng Hap

Seg Hap 1881

Setelah Hotel de Vink dibangun, maka kesebelah kiri dari bangunan itu dibangunlah sebuah pusat perbelanjaan cina pertama jauh sebelum dibukaanya jalan kesawan. Pusat perbelanjaan itu bernama Seng Hap. Didirikan oleh Tan Tang Ho. Seng Hap didirikan pada tahun 1881 yang ciri bangunannya seperti pilar-pilar zaman Romawi yang masih eksis di daerah Kesawan (Jalan A. Yani) dibangun di tahun 1900. Pada masanya Pusat perbelanjaan ini sangat terkenal di Pantai Timur Sumatra.

Pada tahun 1918 Tan Tang Ho meninggal dunia dan dilanjutkan oleh anak lelakinya yang bernama Tan Boen An (1890-1946) sebagai direktur yang baru. Tan Boen An juga mulai aktif dalam bidang politik di tahun 1918 setelah pengunduran diri Tjong A Fie, dan terpilih sebagai anggota dewan kota yang mewakili masyarakat Tionghoa. (SP 16-7-1918) Tan Boen An kemudian melakukan lobi bagi penghapusan ricksjaw di Medan. (Wright 1909: 581,582; DC 24-3-1900).

Walaupun masih berdiri gagah, tapi sayang bangun ini sekarang hancur secara perlahan. 

Jumat, 22 Maret 2013

1881 Konsesi Kereta Api Deli

Pembangunan Stasiun Kereta api disebelah lapangan Esplanade 1881


Hasil pertanian di Jawa tidak lagi sekadar untuk memenuhi kebutuhan sendiri tapi juga untuk pasar internasional. Karena itu diperlukan sarana transportasi untuk mengangkut hasil pertanian dari pedalaman ke kota-kota pelabuhan. Yang ada waktu itu hanya Jalan Raya Pos yang dirasa sudah tidak memadai lagi, sehingga muncul gagasan untuk membangun jalan kereta api.

Namun, tidak semua orang setuju dengan rencana itu. Ada sebagian pihak yang berpendapat volume produk masih terlalu sedikit, sehingga tidak efisien apabila diangkut dengan kereta api, sementara jumlah penumpang, kalaupun ada, diperkirakan akan sangat sedikit. Di masa itu orang Jawa dianggap sebagai bangsa yang tidak suka bepergian jauh, sedangkan orang Eropa yang diharapkan paling-paling hanyalah para pegawai negeri.

Muncul pula perdebatan tentang peran yang sebaiknya dimainkan pemerintah dalam pengembangan perkeretaapian di Hindia Belanda. Pihak yang menentang keterlibatan langsung pemerintah berpendapat, bahwa dana untuk membangun jalan rel sebaiknya dipakai untuk hal-hal yang lebih penting dan mendesak, sebaiknya mereka yang menentang keterlibatan swasta merasa, bahwa jalan kereta api mempunyai nilai strategis, sehingga resikonya terlalu besar apabila diserahkan pada swasta. Perdebatan bahkan muncul tentang tenaga penggerak. Menteri Urusan Jajahan JC Baud, misalnya, mengusulkan pembangunan jalan rel dengan kerbau atau kuda sebagai penarik kereta.

Baru pada tahun 1862 disetujui rencana pembangunan jalan kereta api pertama di Jawa, yaitu jalur Semarang-Vorstelanden (daerah Kerajaan Yogyakarta dan Surakarta yang ketika itu merupakan daerah pertanian paling produktif, tapi sekaligus juga paling sulit dijangkau), dan jalur antara Batavia (Jakarta) – Buitenzorg (Bogor), tempat kedudukan pemerintah Hindia Belanda dan daerah penghasil teh dan kopi.

Kedua jalur ini dibangun dari sebuah perusahaan swasta, yaitu: Nederlandsch – Indische Spoorweg Maatschappj (NIS). Setelah diadakan berbagai persiapan termasuk bentuk konsesi yang akan diberikan, maka pada hari Jumat tanggal 7 Juni 1864 di Kota Semarang diselenggarakan upacara sebagai tanda pekerjaan pemasangan jalan rel dimulai. Sebagai puncak upacara ditandai pencangkulan tanah pertama yang dilakukan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda, yaitu: J.A.J Baron Sloet van den Beele (Subarkah, 1987, halaman 3).

Begitu juga dengan di Deli, perkembangan pertanian dan perkebunan sudah semakin besar, bukan hanya tembakau, tapi karet, kopi, minyak sawit dan teh sudah menjadi hasil yang harus membutuhkan transportasi yang lebih baik. Maka hasil inisiatif Manager Deli Maatschappij,yaitu J.Cremer meminta untuk memperoleh konsesi dari pemerintah Belanda untuk pembangunan jalan kereta Api.

1881 Perjalanan Sukses Tembakau Deli



Diawali dengan Nienhuys sebagai cikal bakal perkebunan di Sumatra Timur 1863, tercatat pada tahun 1881, dari hasil panen tembakau Deli mencapai 82,356 pak. Tembakau Deli pada saat itu memang menjadi idola dibanding tembakau Jawa dan tembakau Eropa.  

Inilah perjalanan kilas tembakau Deli dari penanaman, pemilahan, pengeringan, fermentasi hingga pengepakaan.

Pembakaran sisa-sisa tanaman saat membersihkan ladang
untuk penanaman baru (lb, rb); palings untuk melindungi tanaman
tembakau muda, pekerja pose (lo), penanaman tembakau baru (ro)

Pembersihan lahan pada era 80an masih dengan sangat tradisional, yaitu dengan membakar lahan sisa-sisa rumput. Diera 1900 perataan tanah sudah memakai spoom uap. seperti gamabar dibawah ini:

Spoom uap untuk membajak tanah

Kuli membuat lubang diawasi oleh pengawas asli (lb, lo)
lahan tembakau, di latar belakang gudang pengeringan (rb)
kuli menyediakan tempat tidur benih, bangunan
dan rumah-rumah di latar belakang (ro)
kuli dan tanaman tembakau muda

Bekerja di perkebunan tembakau - kuli membuat lubang tanam (lb),
kuli dalam pemilihan tanaman di tempat tidur benih (rb, lo),
kuli terlibat dalam penanaman tanaman tembakau muda (ro)


Tanaman tembakau dewasa (lb), tanaman tembakau muda (RT),
pengawas pribumi memeriksa tembakau (lo, MO),
panggilan untuk beristirahat dengan cara sinyal dari tanduk (ro)


Kuli membawa keranjang tembakau di atas kepala mereka(lb),
mengambil daun tembakau(rb), tumpukan di keranjang (lo)
kuli kesusahan mengangkatnya(ro)

Tembakau pun diangkat menggunakan kereta kerbau
menuju ruangan pengeringan


Tembakau- tembakau pun di masukkan ke ruang penjemuran
Kuli Cina lagi memilah daun-daun tembakau
Kuli dan pengawas pribumi yang bekerja di gudang pengeringan(lo),
transportasi membawa daun kering ke gudang fermentasi dengan
 karbouwenkar kuli membawa kotak dengan daun tembakau kering (ro)
Tembakau disiapkan untuk pengiriman (lb), kuli gudang tembakau
yang diterima fermentasi di bawah pengawasan seorang supervisor Cina (rb),
jalan tembakau di gudang difermentasi (lo dan ro)
Setelah fermetasi maka tahap berikut adalah pengepresan daun dan perbal

Tembakau ditimbang di dalam gudang fermentasi(lb) tembakau bale dipres(rb)
Pelabelan bal tembakau DELI MAATSCHY A, Tembakau Hindia Belanda
22.778 NEW YORK VIA SAN FRANCISCO
(lo)kapal laut membawa tembakau ke Amerika

Pada saat pendaftaranTembakau dari Perusahaan Deli dijual di Amsterdam.
Gedung Frascati didirikan pada tahun 1879 oleh Masyarakat broker

Di mata para juragan hecho en Cuba alias cerutu Kuba, Indonesia ibarat la tierra prometadora, sebuah tanah yang menjanjikan. Jangan heran. Kuba maupun negara-negara penghasil cerutu terbaik sedunia tak pernah alpa menoleh ke Indonesia saban kali mereka membutuhkan bahan baku cerutu. Daun tembakau Deli di Sumatera, misalnya. Kuat dan punya warna yang matang, daun tembakau Deli banyak dipakai sebagai pembalut luar cerutu.

1880 Hotel De Vink

Hotel De  Vink
Setelah perpindahan penduduk dari Labuhan dan mulai memadati Medan. Dan para imigran Eropa yang mulai berdatangan membuka bisnis barunya di Deli maka prasarana penginapan pun segera dibangun. 

Didepan sebuah lapangan luas kelihatan pada gambar Hotel de Vink berdiri. Lapangan yang luas inilah akhirnya menjadi alun-alun pusat kota Medan (lapangan Esplanade, atau lapangan Merdeka Medan sekarang).

Hotel ini lebih dikenal dengan House Of Food (Rumah makan), bertingkat dua dengan 62 kamar. Tidak diketahui siapa yang berinvestasi pada waktu itu membuka hotel tersebut. Hotel inilah nantinya di tahun 1890 berubah menjadi Medan Hotel dan Grand Hotel. Sekarang lokasi hotel ini sudah berubah menjadi Bank Mandiri.

1880 Cremer, Kuli Ordonansi & Poenale Sanctie

Penerapan poenale sanctie pada kuli

Setelah semakin banyak kuli-kuli diberbagai maskapai perkebunan di Deli maka timbullah berbagai banyak masalah. Dengan pekerjaan yang sangat berat dan upah kuli yang kecil, membuat para kuli selalu bersikap menantang para mandor dan tuan-tuan kebunnya. Tak jarang ditemukan masalah dari para kuli yang lari sebelum habis masa kontraknya.

Hal ini menjadi permasalahan yang hebat pada waktu itu di Deli. Jacob Theodoor Cremer selaku Direktur Deli Maatschappij dalam forum Deli Planters Verenging (Serikat Pengusaha Perkebunan)  mengusulkan cara untuk mengatasi problem dengan melakukan sanksi terhadap para kuli. Serikat pengusaha perkebunan ini lalu mendesak pemerintah Hindia Belanda, supaya mereka diberi hak poenale sanctie.

Hak poenale sanctie adalah hak untuk bertindak sebagai polisi dan hakim sekaligus untuk menghukum para kuli mereka tanpa melalui pengadilan. Ini artinya para pengusaha perkebunan itu boleh menangkap para kuli mereka (jika kabur atau bekerja tidak sesuai keinginan para tuan pemilik perkebunan) dan menghukum mereka sesuka hati.

Membantah mandor, melawan, mengancam dan sejenisnya sering berakhir dengan penyiksaan, penyekapan, atau denda. Akibatnya orang-orang yang terlanjur direkrut menjadi kuli kontrak sama saja menjadi budak. Nasib mereka sangat mengenaskan dan tetap miskin turun temurun.

Pada 1876, Cramer menulis surat ke Tweede Kamer (parlemen Belanda) di Den Haag dengan judul Een  
Surat Kabar yang menentang ponale sanctie
woord uit Deli (Sepatah Kata dari Deli). Surat Cramer ini melahirkan apa yang disebut Koelie-ordonnantie (1880).

Koelie Ordinantie (undang undang untuk kaum buruh/kuli) - Undang-undang ini ditegakkan karena pada tahun tahun sebelumnya banyak pekerja keluar dari perkebunan mereka selama masih periode kontrak mereka.

Cramer yang menjadi kaya raya dengan berbagai penyiksaan yang dia lakukan. Kelak ia digugat dalam buku bertitel De Miljoenen van Deli atas kekejamannya itu. Meskipun demikian dia tetap tak terjamah dan pernah menduduki Menteri Urusan Wilayah Koloni dalam Kabinet Pierson – Borgesius.

Koeli Ordonantie ini dibuat berdasarkan peraturan ketenagakerjaan yang dikeluarkan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda melalui Keputusan Gubernur Jenderal Nomor 138. Pada perkembangannya peraturan ketenagakerjaan ini mengalami revisi melalui Keputusan Gubernur Jenderal Nomor 78.

Peraturan ini ini cukup komprehensif untuk ukuran waktu itu. Peraturan yang dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal pemerintah kolonial Hindia Belanda ini juga cukup berimbang, dalam arti tak hanya memuat ketentuan untuk melindungi kepentingan para tenaga kerja atau saat itu disebut sebagai ‘koeli’, namun juga memberikan kepastian hukum untuk melindungi kepentingan para investor dan pengusaha demi menjaga iklim yang kondusif bagi terjaminnya kelancaran penanaman modal dan investasi.

Beberapa aturan pada beberapa pasalnya bertujuan untuk melindungi kepentingan para tenaga kerja, seperti hak para koeli untuk meminta dikirimkan dan diongkosi kepulangannya kembali ke kampung halamannya bila masa kerja pada kontrak kerjanya telah usai. Juga tentang hak para koeli untuk mendapatkan tempat tinggal dan MCK serta makan maupun upah yang selayaknya. Tak lupa juga para koeli diberikan pas keterangan untuk mengadukan perlakuan para ondernemer yang tak sesuai dengan ketentuan dalam kontrak.

Hebatnya lagi, pemerintah kolonial Hindia Belanda dalam peraturan ketenagakerjaan atau Koeli Ordonantie ini mengharuskan para biro pencari tenaga kerja untuk memberikan honorarium awal kepada para koeli setelah menanda tangani kontrak kerja, walaupun belum efektif bekerja karena belum sampai ke tempat tujuan kerjanya. Uang honorarium awal itu, pada saat itu disebut sebagai ‘uang panjar’.

Pemerintah kolonial Hindia Belanda juga cukup cerdas dan arif bijaksana. Dalam rangka menjaga stabilitas dan harmonisasi di daerah tujuan penanaman modal dan investasi itu, maka beberapa pasalnya memuat aturan yang memastikan para koeli untuk mematuhi hukum dan peraturan yang berlaku di daerah itu. Para koeli juga diwajibkan untuk mencatatkan diri di Pemerintah Daerah setempat.

Pemerintah kolonial Hindia Belanda yang sangat berkepentingan menciptakan iklim yang kondusif untuk memajukan dan mendorong laju pertumbuhan ekspornya juga membuat peraturan yang bertujuan melindungi kepentingan para investor sebagai penanam modal dan pengusahanya.

Beberapa aturannya mencakup juga ketentuan jam kerja selama 10 jam sehari yang harus dipatuhi oleh para koeli. Juga aturan yang memastikan para koeli akan melaksanakan pekerjaannya selama masa kontrak kerja, serta tak boleh meninggalkan dan melarikan diri dari tempat bekerjanya. Untuk itu para koeli akan dihukum jika desersi, melarikan diri, melawan perintah, melawan dan mengancam atasan, menghasut, mengganggu ketenangan kerja, bermabuk-mabukan, berkelahi, dan sebagainya yang akan mengganggu kelancaran proses produksi.

Namun maksud baik dan mulia dari pemerintah kolonial Hindia Belanda agar tercipta iklim investasi yang kondusif seraya membuka lapangan kerja bagi para penganggur yang miskin, ternyata lebih mengikat dan merugikan kepentingan para koeli.

Inilah awal dari cerita yang didalam sejarah dicatat sebagai zaman penuh penderitaan bagi para koeli orang-orang Jawa. Begitu mengenaskan sehingga ada catatan dalam sejarah yang mencatat beberapa penggal kisah para koeli orang Jawa ini bagaikan cerita kehidupan para budak saja layaknya.

Posisi tawar yang lemah dari para koeli dibandingkan posisi tawar yang dimiliki oleh para tuan atau ondernemer, ditambah dengan lemahnya fungsi pengawasan dari para aparat pegawai pemerintah kolonial Hindia Belanda -dalam segala tingkatan dan segala jenjang eselon yang bermental koruptor dan memeras serta lebih suka berpihak kepada para ondernemer yang memberinya amplop uang suap- telah membuat cerita yang layaknya hanya ada dalam cerita pada dongeng khayalan saja itu menjelma menjadi cerita nyata tentang kepedihan yg tiada terperi dari warganegara bumiputera yang menjadi para koeli.

Perjalanan cerita dimulai saat para calon koeli dihubungi oleh para Lurah, para Kepala Desa, yang bertindak sebagai calo tenaga kerja. Para pemuda yang sebagian besar adalah para penganggur berduyun-duyun mendaftarkan diri kepada para lurah dan kepala desa itu. Selanjutnya mulai meninggalkan kampung halamannya menuju tanah harapan untuk memperbaiki kehidupannya.

Mereka kemudian diangkut ke Batavia, disini para pemuda itu menandatangani kontrak kerja yang saat itu disebut sebagai ‘Koeli Ordonantie’. Para koeli dimulai setelah menandatangani kontrak dan mendapatkan Uang Panjar.

Para koeli itu -pada masa itu biasa disebut sebagai ‘koeli kontrak’- diangkut dengan kapal laut menuju ke Deli Sumatera. Perjalanan ini memakan waktu yang cukup lama, mengingat kecepatan kapal laut pada waktu itu belumlah secepat kapal laut zaman ini. Dan tentunya fasilitas yang ada di kapal laut pada waktu itu pun belumlah semodern dan senyaman kelengkapan dan fasilitas kapal laut pada zaman kemerdekaan ini.

Setelah tiba di onderneming, para ‘koeli orang Jawa’ bekerja dibawah pengawasan mandor yang bertanggung-jawab atas disiplin kerja dari para koeli yang dipimpinnya. Para mandor ini mendapatkan upah sebesar 7,5% dari hasil kelompok upah para koeli yang dipimpinnya.

Pada umumnya para pemilik perkebunan menerapkan suatu bentuk organisasi dengan hirarki dimana kinerja para mandor ini diawasi oleh mandor kepala, dan selanjutnya para mandor kepala ini diawasi oleh asisten pengawas. Seterusnya, para asisten pengawas ini bertanggungjawab kepada administratur perkebunan. Selanjutnya para administratur ini bertanggungjawab kepada tuan juragannya yaitu para investor yang memiliki perkebunan itu.

Pada masa itu, yang paling berpengaruh dan paling berkuasa atas para koeli adalah para atasan langsungnya yaitu para mandor dan mandor kepala, mereka ini yang paling sering melakukan pemerasan terhadap para koeli. Begitu berkuasanya para mandor ini, sehingga para koeli jika ditanya dimana dia bekerja, maka jawabannya bukan menyebutkan nama onderneming tempat bekerjanya, akan tetapi akan menyebutkan siapa nama mandor dan nama mandor kepalanya.

Namun pemerasan yang dialami oleh para koeli bukan hanya dari pemerasan langsung yang dilakukan oleh mandor dan mandor kepalanya saja, para calo dan juga tuan juragan atau ondernemer secara tak langsung juga melakukan pemerasan.

Hutang dan biaya yang diangggap sebagai hutang -seperti biaya transportasi dari Jawa ke Deli, biaya makan, biaya pengobatan, biaya tempat tinggal- dengan upahnya yang minim itu seringkali baru dapat terbayarkan lunas setelah para koeli bekerja selama lebih dari 3 tahun kontrak kerja.

Hutang piutang ini sengaja dipupuk untuk mengikat para koeli ini, sengaja diciptakan situasi dan keadaan yang akan membuat para koeli semakin menumpuk hutang kepada para ondernemer. Pada masa itu, opium adalah barang yang legal, para administratur senagaja memakai ketagihan mengkonsumsi opium ini sebagai sarana menumpuk hutang bagi para koelinya.

Tak cukup hanya itu, pada setiap tahunnya biasanya bertepatan dengan perayaan yang diadakan pada akhir masa kontrak bagi sebagian koelinya, didatangkan pertunjukan yang disertai para bandar jugi yang menggelar arena perjudian. Kemudian para koeli termasuk para koeli yang lagi merayakan berakhirnya masa kontrak kerjanya oleh para administrtur melalui para mador kepalanya, dipinjami uang untuk berjudi.

Walau zaman telah berubah, namun apa yang terjadi pada zaman lalu dengan yang terjadi pada masa kini mempunyai esensi yang sama, yaitu mekanisme pemaksaan secara tak langsung bagi para koeli dengan upah yang rendah.

Pada masa lalu, kondisi dan situasi dimana para koeli terhimpit oleh tumpukan hutang piutangnya kepada para tuan juragan perkebunan yang tak terbayarkan oleh para koeli itu dijadikan senjata pemaksa oleh para administratur perkebunan untuk menekan para koeli agar menerima kontrak kerja dengan upah rendah untuk jangka waktu yang relatif panjang.

Sedangkan hari ini, kondisi dan situasi dimana kesempatan kerja yang terbatas dan menumpuknya hutang piutang kepada pihak lain -akibat biaya hidup sehari-hari dan tungakan angsuran kredit barang konsumtif- dijadikan senjata pemaksa oleh para administratur perusahaan untuk menekan para buruh agar menerima kontrak kerja dengan upah rendah untuk jangka waktu yang relatif pendek.

Selintas seperti berbeda namun esensinya tetap sama, upah rendah dengan klausul kontrak yang hanya memberikan perlindungan yang tidak memadai bagi kepentingan peningkatan kesejahteraan hidup para kuli atau buruh.

Keperihan dari konsekuensi kemiskinan yang dialaminya tak hanya soal jeratan hutang piutang yang berkonsekuensi kontrak kerja dengan upah rendah untuk jangka waktu yang relatif lama. Kondisi kerja juga menyedihkan, para koeli akan tetap bekerja meskipun kondisi fisiknya nyaris tak mampu berdiri.

Jika mereka, seorang koeli sakit sehari maka mereka tidak akan mendapatkan upah seharinya. Serta jika sakitnya melebihi 30 hari, maka para pimpinan perkebunan secara sepihak berhak memperpanjang masa kontrak kerja koeli itu sesuai jumlah hari koeli itu tidak bekerja.

Aturan pemerintah kolonial Hindia Belanda dalam Koeli Ordonantie yang semula bermaksud mulia, melindungi hak koeli namun sekaligus juga melindungi investasi para investor perkebunannya, ternyata pada pelaksanaannya telah diselewengkan oleh para pemilik perkebunan.

Aturan yang memastikan para koeli akan melaksanakan pekerjaannya selama masa kontrak kerja, serta tak boleh meninggalkan dan melarikan diri dari tempat bekerjanya, serta hak menghukum para koeli yang desersi, melarikan diri, melawan perintah, melawan dan mengancam atasan, menghasut, mengganggu ketenangan kerja, bermabuk-mabukan, berkelahi, dan sebagainya yang akan mengganggu kelancaran proses produksi, telah diselewengkan makna tujuannya untuk menghukum para koeli yang membangkang dengan hukuman yang kejam. Sangsi penjara, dirantai, dihukum cambuk, direndam air, tidak diberi makan dan minum adalah hal yang lumrah saja dan jamak dilakukan oleh para pemilik perkebunan kepada para koeli bumiputera.

Semua itu tak lepas dari lemahnya pengawasan yang dilakukan oleh para oknum aparatur pemerintahan kolonial Hindia Belanda yang seolah menutup saja terhadap praktik-praktik ini.

Apakah hanya karena faktor pengawasan dalam praktiknya saja maka Koeli Ordonantie mendatangkan kesengsaraan bagi para koeli ?.

Sesungguhnya tak hanya karena itu. Pemerintah kolonial Hindia Belanda sendiri sebagai sebuah pemerintahan penjajah pada hakikatnya tak pernah memikirkan nasibnya para koeli bumiputera.

Pemerintah kolonial Hindia Belanda pada hakikatnya hanya memikirkan bagaimana agar investasi pada sektor produktif lancar sehingga ekspor komoditi andalannya menjadi lancar dan semakin meningkat. Selanjutnya pada giliran akhirnya akan mengalirkan keuntungan finansial bagi kas pemerintah kolonial serta menggendutkan kantung para pejabatnya.

Itu semua karena ‘Koeli Ordonantie nomor 138’ dan ‘Koeli Ordonantie nomor 78’ , mempunyai banyak celah yang ‘sengaja’ dibuat untuk memihak kepada kepentingan melindungi nilai investasi dari para investor ondernemernya saja.

Tak hanya itu, pemerintah kolonial Hindia Belanda dengan alasan untuk menjaga ketertiban dan ketenangan serta stabilitas bagi kelancaran produksi sektor komoditas ekspor andalannya mengeluarkan secara resmi peraturan yang tidak memperbolehkan sembarang pihak yang tidak mendapat ijin khusus dari pemerintah untuk mengetahui praktik-praktik yang terjadi di dalam perkebunan.

Pada tahun 1902, pernah ada seorang pengacara Belanda yang mencoba melanggar aturan itu. Pengacara Belanda itu, J Van den Brand dalam sebuah majalah lokal pernah menuliskan sebuah tulisan yang melukiskan kekejaman yang dilakukan oleh para pemilik perkebunan tembakau terhadap para koeli mereka. Dalam tulisannya itu ia menuduh pemerintah sengaja menutup mata terhadap segala tindakan kejamnya para pemilik perkebunan tembakau. Tulisan itu seperti membenarkan kabar angin yang sudah beredar sebelumnya dikalangan terbatas.

Untuk meredam kabar itu, selang dua tahun setelah tulisan itu, tepatnya tahun 1904, pemerintah kolonial Hindia Belanda menugaskan seorang jaksa yang bernama JTL Rhemrev untuk mengadakan penyelidikan dan pendalaman terhadap masalah itu. Namun laporan hasil penyelidikan dan pendalaman atas masalah itu, oleh pemerintah dinyatakan sebagai bersifat sangat rahasia, sehingga tidak boleh dipublikasikan kepada publik.

Namun sepedih dan seperih apapun cerita kehidupannya, toh tak menjadikan para koeli bumiputera itu mati dan musnah seperti layaknya genoside. Mereka para koeli itu ternyata masih bertahan hidup dan dapat hidup seperti manusia bernyawa pada umumnya seperti beranak-pinak. Pada awal tahun 1900-an mulailah lahir generasi pertama yang merupakan anak keturunan dari para koeli orang Jawa itu. Mereka anak para koeli orang Jawa yang lahir di onderneming di Deli itu biasa disebut sebagai ‘Anak Jawa Deli’ atau ‘Jadel’.

Mereka seperti tak berbeda dengan prototipe orang Jawa pada umumnya, namun mempunyai temperamen yang lebih keras dibandingkan dengan anak-anak Jawa yang lahir di kampung halamannya. Mereka anak dari para koeli yang hidup pas-pasan saja dan dibesarkan dalam kondisi yang jauh kecukupan makanan yang bergizi, serta tanpa akses yang memadai terhadap pendidikan. Jikalaupun mereka disediakan pendidikan maka juga tak mungkin diaksesnya karena sejak kecil mereka harus membantu orang-tuanya untuk mencari uang dengan memetiktembakau demi sesuap nasi pengganjal isi perut. Sehingga setelah mereka dewasa, nasib mereka pun sama seperti generasi orang-tuanya, menjadi koeli seperti bapaknya. Anak keturunannya itu terus beranak pinak hingga turun temurun yang keturunannya masih eksis berlanjut sampai dengan hari ini.

Dan hari ini kita mendapatkan berkah warisan dari peraturan Koeli Ordonantie berupa hasil banjir investasi pada waktu itu yang hari ini berupa aset produktif dalam bentuk tanah-tanah perkebunan tembakau di Deli yang mutu tembakaunya sangatlah terkenal diseluruh dunia sebagai yang terbaik untuk bahan cerutu.

Tentunya aset produktif penghasil devisa bagi negara yang merupakan aset bangsa itu akan meningkatkan kesejahteraan kehidupan rakyat Indonesia, yang sebagian diantara rakyat Indonesia itu adalah juga mereka yang merupakan anak keturunan dari para koeli orang Jawa zaman Koeli Ordonantie.

Semoga, anak keturunan dari para koeli orang Jawa zaman Koeli Ordonantie, mendapatkan berkah dari peninggalan cucuran keringat leluhur mereka, yang telah memeras keringat dan memerah darhnya di zaman ‘Koeli Ordonantie’.


Pada tahun-tahun berikutnya undang-undang ini mendapat tanggapan yang serius dari berbagai kalangan. Di dalam sidang Volksraad, masalah ini diperjuangkan oleh Thamrin. Ia memperoleh bukti bahwa para kuli di perkebunan itu diperlakukan sewenang-wenang. Buruh yang dianggap malas dihukum dengan dengan pukulan atau disiksa dengan kejam. Hasil penyelidikan Thamrin ini dibeberkan di media masa sehingga menimbulkan pemboikotan tembakau Deli oleh Eropa dan Amerika.


1879 Abraham Adrianus Hoos menjadi Asisten Residen Deli




Pejabat Pemerintah di Medan 1886

Ki ke Ka: J. Vijzelaar, Controller Medan, B. Hoetink, juru bahasa untuk bahasa China 
di Medan, JA van Rijn dari Alkemade, Controller Labuhan Deli, 
GA Scherer, Asisten Residen Gorontalo; W.J.M. Michielsen, Asisten Residen Deli; 
C.A. Kroesen, Controller  Langkat Boven; 

I. DaneA.A. Hoos, Resident Sumatra Van Oostkust

Setelah perpindahan ibukota pemerintahan asisten residen Deli dari Labuhan ke Medan. maka di lantiklah Abraham Adrianus Hoos menjadi Asisten Residen Deli oleh Residen Sumatra van Oostkust di Bengkalis.

Photo diatas adalah pejabat pemerintah Medan tahun 1886 ketika Medan menjadi ibukota keresidenan Sumatra Van Oostkust (Sumatra Timur).

Translate