Jumat, 22 Maret 2013

1880 Cremer, Kuli Ordonansi & Poenale Sanctie

Penerapan poenale sanctie pada kuli

Setelah semakin banyak kuli-kuli diberbagai maskapai perkebunan di Deli maka timbullah berbagai banyak masalah. Dengan pekerjaan yang sangat berat dan upah kuli yang kecil, membuat para kuli selalu bersikap menantang para mandor dan tuan-tuan kebunnya. Tak jarang ditemukan masalah dari para kuli yang lari sebelum habis masa kontraknya.

Hal ini menjadi permasalahan yang hebat pada waktu itu di Deli. Jacob Theodoor Cremer selaku Direktur Deli Maatschappij dalam forum Deli Planters Verenging (Serikat Pengusaha Perkebunan)  mengusulkan cara untuk mengatasi problem dengan melakukan sanksi terhadap para kuli. Serikat pengusaha perkebunan ini lalu mendesak pemerintah Hindia Belanda, supaya mereka diberi hak poenale sanctie.

Hak poenale sanctie adalah hak untuk bertindak sebagai polisi dan hakim sekaligus untuk menghukum para kuli mereka tanpa melalui pengadilan. Ini artinya para pengusaha perkebunan itu boleh menangkap para kuli mereka (jika kabur atau bekerja tidak sesuai keinginan para tuan pemilik perkebunan) dan menghukum mereka sesuka hati.

Membantah mandor, melawan, mengancam dan sejenisnya sering berakhir dengan penyiksaan, penyekapan, atau denda. Akibatnya orang-orang yang terlanjur direkrut menjadi kuli kontrak sama saja menjadi budak. Nasib mereka sangat mengenaskan dan tetap miskin turun temurun.

Pada 1876, Cramer menulis surat ke Tweede Kamer (parlemen Belanda) di Den Haag dengan judul Een  
Surat Kabar yang menentang ponale sanctie
woord uit Deli (Sepatah Kata dari Deli). Surat Cramer ini melahirkan apa yang disebut Koelie-ordonnantie (1880).

Koelie Ordinantie (undang undang untuk kaum buruh/kuli) - Undang-undang ini ditegakkan karena pada tahun tahun sebelumnya banyak pekerja keluar dari perkebunan mereka selama masih periode kontrak mereka.

Cramer yang menjadi kaya raya dengan berbagai penyiksaan yang dia lakukan. Kelak ia digugat dalam buku bertitel De Miljoenen van Deli atas kekejamannya itu. Meskipun demikian dia tetap tak terjamah dan pernah menduduki Menteri Urusan Wilayah Koloni dalam Kabinet Pierson – Borgesius.

Koeli Ordonantie ini dibuat berdasarkan peraturan ketenagakerjaan yang dikeluarkan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda melalui Keputusan Gubernur Jenderal Nomor 138. Pada perkembangannya peraturan ketenagakerjaan ini mengalami revisi melalui Keputusan Gubernur Jenderal Nomor 78.

Peraturan ini ini cukup komprehensif untuk ukuran waktu itu. Peraturan yang dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal pemerintah kolonial Hindia Belanda ini juga cukup berimbang, dalam arti tak hanya memuat ketentuan untuk melindungi kepentingan para tenaga kerja atau saat itu disebut sebagai ‘koeli’, namun juga memberikan kepastian hukum untuk melindungi kepentingan para investor dan pengusaha demi menjaga iklim yang kondusif bagi terjaminnya kelancaran penanaman modal dan investasi.

Beberapa aturan pada beberapa pasalnya bertujuan untuk melindungi kepentingan para tenaga kerja, seperti hak para koeli untuk meminta dikirimkan dan diongkosi kepulangannya kembali ke kampung halamannya bila masa kerja pada kontrak kerjanya telah usai. Juga tentang hak para koeli untuk mendapatkan tempat tinggal dan MCK serta makan maupun upah yang selayaknya. Tak lupa juga para koeli diberikan pas keterangan untuk mengadukan perlakuan para ondernemer yang tak sesuai dengan ketentuan dalam kontrak.

Hebatnya lagi, pemerintah kolonial Hindia Belanda dalam peraturan ketenagakerjaan atau Koeli Ordonantie ini mengharuskan para biro pencari tenaga kerja untuk memberikan honorarium awal kepada para koeli setelah menanda tangani kontrak kerja, walaupun belum efektif bekerja karena belum sampai ke tempat tujuan kerjanya. Uang honorarium awal itu, pada saat itu disebut sebagai ‘uang panjar’.

Pemerintah kolonial Hindia Belanda juga cukup cerdas dan arif bijaksana. Dalam rangka menjaga stabilitas dan harmonisasi di daerah tujuan penanaman modal dan investasi itu, maka beberapa pasalnya memuat aturan yang memastikan para koeli untuk mematuhi hukum dan peraturan yang berlaku di daerah itu. Para koeli juga diwajibkan untuk mencatatkan diri di Pemerintah Daerah setempat.

Pemerintah kolonial Hindia Belanda yang sangat berkepentingan menciptakan iklim yang kondusif untuk memajukan dan mendorong laju pertumbuhan ekspornya juga membuat peraturan yang bertujuan melindungi kepentingan para investor sebagai penanam modal dan pengusahanya.

Beberapa aturannya mencakup juga ketentuan jam kerja selama 10 jam sehari yang harus dipatuhi oleh para koeli. Juga aturan yang memastikan para koeli akan melaksanakan pekerjaannya selama masa kontrak kerja, serta tak boleh meninggalkan dan melarikan diri dari tempat bekerjanya. Untuk itu para koeli akan dihukum jika desersi, melarikan diri, melawan perintah, melawan dan mengancam atasan, menghasut, mengganggu ketenangan kerja, bermabuk-mabukan, berkelahi, dan sebagainya yang akan mengganggu kelancaran proses produksi.

Namun maksud baik dan mulia dari pemerintah kolonial Hindia Belanda agar tercipta iklim investasi yang kondusif seraya membuka lapangan kerja bagi para penganggur yang miskin, ternyata lebih mengikat dan merugikan kepentingan para koeli.

Inilah awal dari cerita yang didalam sejarah dicatat sebagai zaman penuh penderitaan bagi para koeli orang-orang Jawa. Begitu mengenaskan sehingga ada catatan dalam sejarah yang mencatat beberapa penggal kisah para koeli orang Jawa ini bagaikan cerita kehidupan para budak saja layaknya.

Posisi tawar yang lemah dari para koeli dibandingkan posisi tawar yang dimiliki oleh para tuan atau ondernemer, ditambah dengan lemahnya fungsi pengawasan dari para aparat pegawai pemerintah kolonial Hindia Belanda -dalam segala tingkatan dan segala jenjang eselon yang bermental koruptor dan memeras serta lebih suka berpihak kepada para ondernemer yang memberinya amplop uang suap- telah membuat cerita yang layaknya hanya ada dalam cerita pada dongeng khayalan saja itu menjelma menjadi cerita nyata tentang kepedihan yg tiada terperi dari warganegara bumiputera yang menjadi para koeli.

Perjalanan cerita dimulai saat para calon koeli dihubungi oleh para Lurah, para Kepala Desa, yang bertindak sebagai calo tenaga kerja. Para pemuda yang sebagian besar adalah para penganggur berduyun-duyun mendaftarkan diri kepada para lurah dan kepala desa itu. Selanjutnya mulai meninggalkan kampung halamannya menuju tanah harapan untuk memperbaiki kehidupannya.

Mereka kemudian diangkut ke Batavia, disini para pemuda itu menandatangani kontrak kerja yang saat itu disebut sebagai ‘Koeli Ordonantie’. Para koeli dimulai setelah menandatangani kontrak dan mendapatkan Uang Panjar.

Para koeli itu -pada masa itu biasa disebut sebagai ‘koeli kontrak’- diangkut dengan kapal laut menuju ke Deli Sumatera. Perjalanan ini memakan waktu yang cukup lama, mengingat kecepatan kapal laut pada waktu itu belumlah secepat kapal laut zaman ini. Dan tentunya fasilitas yang ada di kapal laut pada waktu itu pun belumlah semodern dan senyaman kelengkapan dan fasilitas kapal laut pada zaman kemerdekaan ini.

Setelah tiba di onderneming, para ‘koeli orang Jawa’ bekerja dibawah pengawasan mandor yang bertanggung-jawab atas disiplin kerja dari para koeli yang dipimpinnya. Para mandor ini mendapatkan upah sebesar 7,5% dari hasil kelompok upah para koeli yang dipimpinnya.

Pada umumnya para pemilik perkebunan menerapkan suatu bentuk organisasi dengan hirarki dimana kinerja para mandor ini diawasi oleh mandor kepala, dan selanjutnya para mandor kepala ini diawasi oleh asisten pengawas. Seterusnya, para asisten pengawas ini bertanggungjawab kepada administratur perkebunan. Selanjutnya para administratur ini bertanggungjawab kepada tuan juragannya yaitu para investor yang memiliki perkebunan itu.

Pada masa itu, yang paling berpengaruh dan paling berkuasa atas para koeli adalah para atasan langsungnya yaitu para mandor dan mandor kepala, mereka ini yang paling sering melakukan pemerasan terhadap para koeli. Begitu berkuasanya para mandor ini, sehingga para koeli jika ditanya dimana dia bekerja, maka jawabannya bukan menyebutkan nama onderneming tempat bekerjanya, akan tetapi akan menyebutkan siapa nama mandor dan nama mandor kepalanya.

Namun pemerasan yang dialami oleh para koeli bukan hanya dari pemerasan langsung yang dilakukan oleh mandor dan mandor kepalanya saja, para calo dan juga tuan juragan atau ondernemer secara tak langsung juga melakukan pemerasan.

Hutang dan biaya yang diangggap sebagai hutang -seperti biaya transportasi dari Jawa ke Deli, biaya makan, biaya pengobatan, biaya tempat tinggal- dengan upahnya yang minim itu seringkali baru dapat terbayarkan lunas setelah para koeli bekerja selama lebih dari 3 tahun kontrak kerja.

Hutang piutang ini sengaja dipupuk untuk mengikat para koeli ini, sengaja diciptakan situasi dan keadaan yang akan membuat para koeli semakin menumpuk hutang kepada para ondernemer. Pada masa itu, opium adalah barang yang legal, para administratur senagaja memakai ketagihan mengkonsumsi opium ini sebagai sarana menumpuk hutang bagi para koelinya.

Tak cukup hanya itu, pada setiap tahunnya biasanya bertepatan dengan perayaan yang diadakan pada akhir masa kontrak bagi sebagian koelinya, didatangkan pertunjukan yang disertai para bandar jugi yang menggelar arena perjudian. Kemudian para koeli termasuk para koeli yang lagi merayakan berakhirnya masa kontrak kerjanya oleh para administrtur melalui para mador kepalanya, dipinjami uang untuk berjudi.

Walau zaman telah berubah, namun apa yang terjadi pada zaman lalu dengan yang terjadi pada masa kini mempunyai esensi yang sama, yaitu mekanisme pemaksaan secara tak langsung bagi para koeli dengan upah yang rendah.

Pada masa lalu, kondisi dan situasi dimana para koeli terhimpit oleh tumpukan hutang piutangnya kepada para tuan juragan perkebunan yang tak terbayarkan oleh para koeli itu dijadikan senjata pemaksa oleh para administratur perkebunan untuk menekan para koeli agar menerima kontrak kerja dengan upah rendah untuk jangka waktu yang relatif panjang.

Sedangkan hari ini, kondisi dan situasi dimana kesempatan kerja yang terbatas dan menumpuknya hutang piutang kepada pihak lain -akibat biaya hidup sehari-hari dan tungakan angsuran kredit barang konsumtif- dijadikan senjata pemaksa oleh para administratur perusahaan untuk menekan para buruh agar menerima kontrak kerja dengan upah rendah untuk jangka waktu yang relatif pendek.

Selintas seperti berbeda namun esensinya tetap sama, upah rendah dengan klausul kontrak yang hanya memberikan perlindungan yang tidak memadai bagi kepentingan peningkatan kesejahteraan hidup para kuli atau buruh.

Keperihan dari konsekuensi kemiskinan yang dialaminya tak hanya soal jeratan hutang piutang yang berkonsekuensi kontrak kerja dengan upah rendah untuk jangka waktu yang relatif lama. Kondisi kerja juga menyedihkan, para koeli akan tetap bekerja meskipun kondisi fisiknya nyaris tak mampu berdiri.

Jika mereka, seorang koeli sakit sehari maka mereka tidak akan mendapatkan upah seharinya. Serta jika sakitnya melebihi 30 hari, maka para pimpinan perkebunan secara sepihak berhak memperpanjang masa kontrak kerja koeli itu sesuai jumlah hari koeli itu tidak bekerja.

Aturan pemerintah kolonial Hindia Belanda dalam Koeli Ordonantie yang semula bermaksud mulia, melindungi hak koeli namun sekaligus juga melindungi investasi para investor perkebunannya, ternyata pada pelaksanaannya telah diselewengkan oleh para pemilik perkebunan.

Aturan yang memastikan para koeli akan melaksanakan pekerjaannya selama masa kontrak kerja, serta tak boleh meninggalkan dan melarikan diri dari tempat bekerjanya, serta hak menghukum para koeli yang desersi, melarikan diri, melawan perintah, melawan dan mengancam atasan, menghasut, mengganggu ketenangan kerja, bermabuk-mabukan, berkelahi, dan sebagainya yang akan mengganggu kelancaran proses produksi, telah diselewengkan makna tujuannya untuk menghukum para koeli yang membangkang dengan hukuman yang kejam. Sangsi penjara, dirantai, dihukum cambuk, direndam air, tidak diberi makan dan minum adalah hal yang lumrah saja dan jamak dilakukan oleh para pemilik perkebunan kepada para koeli bumiputera.

Semua itu tak lepas dari lemahnya pengawasan yang dilakukan oleh para oknum aparatur pemerintahan kolonial Hindia Belanda yang seolah menutup saja terhadap praktik-praktik ini.

Apakah hanya karena faktor pengawasan dalam praktiknya saja maka Koeli Ordonantie mendatangkan kesengsaraan bagi para koeli ?.

Sesungguhnya tak hanya karena itu. Pemerintah kolonial Hindia Belanda sendiri sebagai sebuah pemerintahan penjajah pada hakikatnya tak pernah memikirkan nasibnya para koeli bumiputera.

Pemerintah kolonial Hindia Belanda pada hakikatnya hanya memikirkan bagaimana agar investasi pada sektor produktif lancar sehingga ekspor komoditi andalannya menjadi lancar dan semakin meningkat. Selanjutnya pada giliran akhirnya akan mengalirkan keuntungan finansial bagi kas pemerintah kolonial serta menggendutkan kantung para pejabatnya.

Itu semua karena ‘Koeli Ordonantie nomor 138’ dan ‘Koeli Ordonantie nomor 78’ , mempunyai banyak celah yang ‘sengaja’ dibuat untuk memihak kepada kepentingan melindungi nilai investasi dari para investor ondernemernya saja.

Tak hanya itu, pemerintah kolonial Hindia Belanda dengan alasan untuk menjaga ketertiban dan ketenangan serta stabilitas bagi kelancaran produksi sektor komoditas ekspor andalannya mengeluarkan secara resmi peraturan yang tidak memperbolehkan sembarang pihak yang tidak mendapat ijin khusus dari pemerintah untuk mengetahui praktik-praktik yang terjadi di dalam perkebunan.

Pada tahun 1902, pernah ada seorang pengacara Belanda yang mencoba melanggar aturan itu. Pengacara Belanda itu, J Van den Brand dalam sebuah majalah lokal pernah menuliskan sebuah tulisan yang melukiskan kekejaman yang dilakukan oleh para pemilik perkebunan tembakau terhadap para koeli mereka. Dalam tulisannya itu ia menuduh pemerintah sengaja menutup mata terhadap segala tindakan kejamnya para pemilik perkebunan tembakau. Tulisan itu seperti membenarkan kabar angin yang sudah beredar sebelumnya dikalangan terbatas.

Untuk meredam kabar itu, selang dua tahun setelah tulisan itu, tepatnya tahun 1904, pemerintah kolonial Hindia Belanda menugaskan seorang jaksa yang bernama JTL Rhemrev untuk mengadakan penyelidikan dan pendalaman terhadap masalah itu. Namun laporan hasil penyelidikan dan pendalaman atas masalah itu, oleh pemerintah dinyatakan sebagai bersifat sangat rahasia, sehingga tidak boleh dipublikasikan kepada publik.

Namun sepedih dan seperih apapun cerita kehidupannya, toh tak menjadikan para koeli bumiputera itu mati dan musnah seperti layaknya genoside. Mereka para koeli itu ternyata masih bertahan hidup dan dapat hidup seperti manusia bernyawa pada umumnya seperti beranak-pinak. Pada awal tahun 1900-an mulailah lahir generasi pertama yang merupakan anak keturunan dari para koeli orang Jawa itu. Mereka anak para koeli orang Jawa yang lahir di onderneming di Deli itu biasa disebut sebagai ‘Anak Jawa Deli’ atau ‘Jadel’.

Mereka seperti tak berbeda dengan prototipe orang Jawa pada umumnya, namun mempunyai temperamen yang lebih keras dibandingkan dengan anak-anak Jawa yang lahir di kampung halamannya. Mereka anak dari para koeli yang hidup pas-pasan saja dan dibesarkan dalam kondisi yang jauh kecukupan makanan yang bergizi, serta tanpa akses yang memadai terhadap pendidikan. Jikalaupun mereka disediakan pendidikan maka juga tak mungkin diaksesnya karena sejak kecil mereka harus membantu orang-tuanya untuk mencari uang dengan memetiktembakau demi sesuap nasi pengganjal isi perut. Sehingga setelah mereka dewasa, nasib mereka pun sama seperti generasi orang-tuanya, menjadi koeli seperti bapaknya. Anak keturunannya itu terus beranak pinak hingga turun temurun yang keturunannya masih eksis berlanjut sampai dengan hari ini.

Dan hari ini kita mendapatkan berkah warisan dari peraturan Koeli Ordonantie berupa hasil banjir investasi pada waktu itu yang hari ini berupa aset produktif dalam bentuk tanah-tanah perkebunan tembakau di Deli yang mutu tembakaunya sangatlah terkenal diseluruh dunia sebagai yang terbaik untuk bahan cerutu.

Tentunya aset produktif penghasil devisa bagi negara yang merupakan aset bangsa itu akan meningkatkan kesejahteraan kehidupan rakyat Indonesia, yang sebagian diantara rakyat Indonesia itu adalah juga mereka yang merupakan anak keturunan dari para koeli orang Jawa zaman Koeli Ordonantie.

Semoga, anak keturunan dari para koeli orang Jawa zaman Koeli Ordonantie, mendapatkan berkah dari peninggalan cucuran keringat leluhur mereka, yang telah memeras keringat dan memerah darhnya di zaman ‘Koeli Ordonantie’.


Pada tahun-tahun berikutnya undang-undang ini mendapat tanggapan yang serius dari berbagai kalangan. Di dalam sidang Volksraad, masalah ini diperjuangkan oleh Thamrin. Ia memperoleh bukti bahwa para kuli di perkebunan itu diperlakukan sewenang-wenang. Buruh yang dianggap malas dihukum dengan dengan pukulan atau disiksa dengan kejam. Hasil penyelidikan Thamrin ini dibeberkan di media masa sehingga menimbulkan pemboikotan tembakau Deli oleh Eropa dan Amerika.


1 komentar:

Translate