Tuan Sumayan |
Ketika Belanda hendak memasuki wilayah Batak Timur (Simalungun) mereka menyadari bahwa satu satu nya Raja Simalungun yang paling keras menentang masuknya Belanda ke Simalungun adalah Tuan Rondahaim Garingging.
Oleh sebab itu pada tahun 1870, pasukan Belanda menggempur pasukan berkuda dari kerajaan Raya di dekat Tebing Tinggi dan sekitarnya. Dalam pertempuran itu sekitar 8000 orang pasukan Raya (orang Batak Timur) menunjukkan perlawanan yang sangat gigih di bawah pimpinan Raja Goraha Gaim, Tuan Angga dan Tuan Pagar Gunung. Oleh karena itu selama bulan Mei sampai Nopember 1872, pemerintah Hindia Belanda mengirim kembali ekspedis militer nya untuk menumpas perlawanan Tuan Rondahaim Garingging yang mereka namai “perang batak”. Dari penyebutan nama “perang Batak” sesungguhnya secara militer Belanda sudah memasukkan perang dengan Tuan Rondahaim Garingging sebagai bagian yang tidak terpisahkan dengan perlawanan rakyat sunggal di bawah pimpinan Datuk Kecil bermarga Surbakti yang terjadi pada bulan Mei 1872, oleh Belanda di sebut “Batak Oorlog”.
Berdasarkan kesamaan waktu kejadian, bisa ditafsirkan bahwa Tuan Rondahaim sudah sangat mengamati secara serius perkembangan yang terjadi di Sumatera Timur, khusus nya perluasan kekuasaan Belanda dan perusahaan perkebunan di wilayah pantai timur. Dari analisis nya ini beliau yakin hanya tinggal menunggu waktu saja Belanda akan menyerbu simalungun. Oleh karena itu tidak lama setelah menjadi Raja Raya tahun 1848, beliau membangun sebuah pasukan bersenjata yang kuat, senjata di dapat melalui barter hasil bumi dengan pedagang asing di pantai timur Sumatera. Beliau juga memerintahkan pembuatan mesiu dan senjata tradisional seperti tombak, pedang dll.
Di setiap kampung berbatasan dengan Deli dan Serdang sudah ditempatkan pasukan yang sewaktu-waktu dapat dikerahkan untuk berperang oleh Rondahaim Garingging dari pusat kekuasaannya di Buntu Raya. Pada bulan September 1885, Padang dan tempat tempat lainnya di serang dan diduduki oleh pasukan Rondahaim Garingging. Sultan Deli terpaksa melepaskan daerah Padang. Sultan Deli berusaha membujuk orang orang Batak lainnya untuk melancarkan serangan balasan, tetapi dilarang oleh Residen Sumatera Timur. Kontrolir Serdang yang membawahi daerah Padang juga berusaha meredam raja raya yang ditakuti itu. Setahun kemudian (1886), pasukan Raya kembali melancarkan serangan ke Padang dan Bedagai. Kontrolir Belanda berkali kali memanggil Rondahaim untuk berunding, tetapi ditolak. Akhirnya pada bulan Nopember tahun 1886, Rondahaim mengirim wakilnya, Tobayas bertemu dengan Kontrolir. Dalam pertemuan itu, Tobayas tetap bersikukuh tidak mau tunduk kepada Belanda, bahkan menunjukkan sikap mengancam. Tobayas dan anggota pasukannya ditangkap, namun pada bulan Desember 1886, mereka dibebaskan.
Pada pertengahan kedua bulan September 1887, pasukan Raya dalam jumlah besar (sekitar 6-7 ribu orang / westenberg menyebutkan jumlah pasukan Raya sekitar 2000 orang) menduduki Hulu Padang dan Bedagai kemudian menyerang kampung Bandar Bajambu di Sungai Sibarau dan menghancurkan perkebunan Tembakau. Pasukan Raya benar-benar merepotkan penguasa Belanda, sampai Residen, Assisten Residen dan Kontrolir berada di Tebing Tinggi untuk melakukan koordinasi menghalau pasukan Raya. Pada tanggal 22 Oktober 1887 mereka menyerang pasukan Raya di Dolok Merawan dan Dolok Kahean. Setelah bertahan sekuat tenaga, akhirnya pasukan Raya mengundurkan diri dengan kehilangan pasukannya sekitar 22 orang antara lain Jalanim tewas dan Panglima Muda terluka.
Pasukan Belanda kemudian kembali ke Medan dan beberapa hari kemudian mereka bergerak ke Pagurawan untuk menemui penguasa Tanjung Kasau dan Baja Lingge. Kalam Setia penguasa Bajalinggei, adik ipar Rondahaim menerima baik kunjungan itu dan menyatakan tunduk kepada Belanda pada tahun 1888. Pemerintah Belanda melalui Kalam Setia terus membujuk Rondahaim agar mau bekerja sama dengan Belanda, tetapi tetap ditolaknya. Kerja sama penguasa Bajalinggei dengan Belanda sangat menyakitkan Rondahaim. Oleh sebab itu, pada bulan Februari 1888 beliau melancarkan serangan ke daerah selatan Bajalinggei dan Dolok Merawan.
Ketika pasukan Raya tidak mampu lagi melakukan perlawanan secara frontal menghadapi pasukan Belanda dalam berbagai pertempuran, muncul gagasan menarik dari Tuan Arga (Tuan Dolog Merawan) kepada Tuan Rondahaim Garingging. Gagasan itu inti nya adalah menyerang pasukan Belanda siang maupun malam dalam unit unit kecil pasukan Raya dengan cara sabotase, membakar kampung kampung yang sudah dikuasai Belanda dan perkebunan baik pondok, bangsal tembakau maupun tanaman tanaman perkebunan.
Tuan Rondahaim Garingging (1828-1891) adalah Raja Kerajaan Raya (sekarang di Pematangraya, Kabupaten Simalungun, Sumut) yang gigih menentang dan melakukan perlawanan terhadap Kolonialisme Belanda pada masanya. Ia diusulkan menjadi salah satu Pahlawan Nasional dari Sumatera Utara.
Waktu Belanda memasukui Rayakahean, Rondahaim menghadangnya dengan menebang pohon besar yang melintang di Dolog (Gunung) Simarsopah, dekat Desa Bahpasunsang sekarang. Sampai sekarang tempat itu dikenal orang dengan nama Pangolatan (tempat mengadang /Belanda).
Tuan Rondahaim menghabiskan waktunya untuk mempertahankan Simalungun dari serbuan pasukan Belanda. Beliau adalah satu satunya raja dari Sumatera Utara yang tidak pernah ditangkap Belanda sampai akhir hayatnya.
Karena sering terjadi perlawanan maka Pemerintah Belanda pun membangun kontrolirnya di Damak Jambu. C.J.Westenberg pernah menjadi Controleur Urusan Batak di Damak Jambu (Bangun Purba) pada tahun 1902. Pada tanggal 7 November 1902, Westenberg menerima penyerahan Kerajaan Raya dengan ditandatanganinya Korte Verklaring oleh Harajaan Raya dan Tuan Sumayan sebagai Raja Raya.
0 komentar:
Posting Komentar