Kamis, 21 Maret 2013

1878 Deli Planters Vereniging (DVP)

Kantor Deli Planters Vereniging 
Untuk mengatur dan melaksanakan segala ketentuan dalam usaha perkebunan maka pada tahun 1879 dibentuk Deli Planters Vereeniging (DPV, Perhimpunan Tuan Kebun Deli). Masalah tanaga kerja merupakan sebab yang langsung dan pokok dari lahirnya persatuan kum majikan itu. Pemimpin perhimpunan dipercayakan kepada satu komite, komite tuan kebun, yang semula terdiri atas tiga serangkai dan selama beberapa tahun diketuai oleh Cremer.

Yang patut juga dicatat adalah pandangan rapat yang pertama yaitu bahwa publisitas merugikan perusahaan. Para anggota dianjurkan agar menyampaikan artikelnya kepada komite tuan kebun dulu sebelum disiarkan kepada umum. Dikhawatirkan pemberitaan negatif tentang kehidupan perkebunan ke dunia luar akan berpengaruh buruk. Hal itu mungkin berkenaan dengan keresahan yang sesekali terjadi dikalangan buruh di Sumatera Timur. Pada 1878 kuli dari beberapa perkebunan berontak karena buruknya kondisi kerja mereka. Yang sangat menghebohkan juga adalah peristiwa penganiayaan buruh disuatu perkebunan pada 1879.

Intervensi Pemerintah Kolonial Dalam Sistem Perburuhan

DPV dengan ketat mengawasi pelaksanaan berbagai ketentuan yang telah diambil dan mengenakan denda pada anggota yang diketahui melakukan pelanggaran. Pemberantasan pelarian kuli merupakan upaya yang penting. Untuk itu, uang panjar dikurangi sehingga para kuli tak lagi tertarik melarikan diri dan menjalin kontrak baru ditempat lain. Akhirnya, komite tuan kebun pun mengikat perjanjian dengan kepala-kepala Cuina untuk mengerahkan barisan pemburu yang biasa dinamakan mata gelap. Tugasnya adalah mengawasi kaum migran yang datang pergi dengan kapal. Tetapi, kepentingan utama komite adalah menekan pemerintah agar mnyelesaikan masalah kuli dengan cara yang sesuai dengan keinginan para tuan kebun.

Seruan kepada pemerintah untuk ikut campur dalam masalah perburuhan, yang berarti melegalkan praktek pemaksaan, sebenarnya bertentangan dengan ideologi kolonial masa itu, yaitu mengutamakan kebebasan ekonomi semaksimal mungkin. Pada 1864 O. van Rees, yang kemudian menjdi gubernur jenderal, menyarankan agar pasal-pasal dalam burgerlijk wetboek (kitab UU hukum perdata) dinyatakan berlaku untuk kontrak perburuhan. Juga I.D Fransen van de Putte sebagai menteri daerah jajahan berkali-kali menunjukkan kejengkelannya terhadap campurtangan pemerintah atau polisi dalam persoalan ini. Pemerintah tampaknya dapat menerima argumen bahwa keadaan di Sumatera Timur lain dari yang lain. Dengan keputusan rahasi, pada 1877 kepala departemen pemerintahan dalam negeri bertolak ke Deli untuk berunding dengan para tuan kebun. Hasilnya sudah ditetapkan terlebih dahulu. Mengingat yang dipertaruhkan adalah kepentingan yang besar yakni kelangsungan hidup industri perkebunan maka agaknya masuk akal melakukan penyimpangan dari azas-azas yang telah diterima secara umum, seperti melindungi majikan dengan cara memberi ancaman hukuman kepada pekerja yang ingiin melepaskan diri dari kontraknya. Didalam rumusannya, kedua belah pihak mendapatkan penekanan bahwa melindungi buruh dari majikan yang jahat dan melindungi majikan dari praktek jahat buruh.

Buruh dapat dihukum jika melarikan diri atau tak mau bekerja. Ia dapat juga dihukum kalau memberontak, menghina atau mengancam majiakn atau pengawas, mengganggu keamanan, menghasut orang lain untuk lari atau membangkan, berkelahi, mabuk-mabukan dan kesalahan lain semacam itu yang dianggap sebagai pelanggaran sekalipun tidak melanggar perjanjian nkerja itu sendiri. Hukuman terdiri atas kerja paksa untuk pekerjaan umum selama 12 hari, tiga bulan, atau satu tahun tergantung pada beratnya pelanggaran. Masa hukuman, sakit lebih dari satu bulan dan absen tanpa izin, tidak dihitung sebagai hari kerja dalam masa kontrak. Jadi waktu yang hilang itu harus diganti dengan kerja. kuli yang telah selesai menjalani hukuman dibawa kembali ke perkebunan oleh opas-opas yang bertugas khusus melakukan pengawalan dan pengamanan. Masa kontrak tiga tahun akhirnya terasa jauh lebih lama dari biasanya sebelum ordonansi berlaku.

Ordonansi kuli disusun untuk Sumatera Timur, tetapi kemudian secara bertahap diberlakukan juga di berbagai daerah lain di luar Jawa. Alasannya, kemajuan pertambangan dan perkebunan besar tergantung pada adanya tenaga kerja dalam jumlah cukup. Dengan demikian, terbentuklah hubungan yang sangat jelas antara perkembangan cara produksi kapitalis dan kerja paksa dikantong-kantong kapitalis tersebut. Pada 1896 dipersiapkan ordonansi kuli yang berlaku umum untuk seluruh daerah luar Jawa. Dasar pemikirannya, diperusahaan apapun yang mengunakan tenaga impor tak dapat dihindari berlakunya poenale sanctie.

Yang penting dicatat ialah segera setelah ordonansi kuli dilaksanakan timbul keraguan mengenai perlunya paksaan untuk mewajibkan buruh menepati kontrak. Pemberlakuan ordonansi kuli mendapat reaksi. Banyak yang mempertanyakan ordonansi kuli. Redaksi ordonansi kuli juga harus disesuaikan dengan kedaan yang selalu berubah. Yang sangat penting artinya ialah ketentuan yang diambil sewaktu pada 1889 untuk pertama kali dilakukan peninjauan kembali, yaitu ketentuan yang memperbolehkan dipekerjakannya migran dari Hindia Belanda sendiri sebagai buruh merdeka. Sejak itu ordonasi kuli hanya diberlakukan dari buruh luar negeri. Para pengusaha perkebunan besar menolak memberlakukan sistem kerja bebas itu, dan seperti dulu mereka tetap hanya mempergunakan kuli yang terikat kontrak dengan sanksi-sanksi hukuman.

Pada tahun 1878 Kantor DELI PLANTERS VEREENGING (D.P.V) barulah gedung ini dipergunakan. Gedung ini sekarang berada disebelah Mesjid antara Rumah sakit Bukit Barisan dan Rumah sakit Tembakau Deli di Jalan Putri Hijau Medan.

0 komentar:

Posting Komentar

Translate